Friday, September 30, 2005

Kompor Sialan

Mau makan malem gini aja sulit banget.



Ngegoreng tempe pake kompor listrik sama aja dengan menguji kesabaran. Masya ampun lamanya najong banget daaaah. Nunggu minyak-nya bunyi gemericik kayaknya butuh setengah jam sendiri gitu. Mau ditinggal juga jadi serba salah, takut lupa. Gw udah nyambi nyuci piring-gelas-sendok, masak air pake termos listrik, manasin nasi di microwave, bikin teh mint, eh itu tempe masih pucat pasi aja.

Hoayah, gw harus menemukan moda masak yang lain nih. Jangan ngegoreng dah. Semua makanan gw dipanggang aja kali ya. Biar bisa ditinggal dan tiba-tiba udah mateng aja. Trus masak dalam porsi segambreng jadi gak perlu masak lagi dalam ... seminggu! Stuju gak?

Ups, itu teaser-nya di pojok kanan atas, maaf-maaf lho buat kamyu. Masih setaun lagi nyampenya! Huhuhuhuhu.

Argh, Visa Turis Habis Sudah!

Kamis kemarin adalah enrolment alias pendaftaran. Rame banget di kampus Russel Square, meskipun pendaftaran udah dibagi berdasarkan nama belakang alias surname. Sebagai warga P, maka gw kebagian waktu di hari Rabu jam 9 pagi. Nyampe kampus jam 9 kurang seperempat, eh antreannya udah panjang banget. Idih, pada rajin-rajin amat yak.

Pendaftarannya lancar banget. Begitu masuk jam 9, kira-kira 15-20 menit juga pendaftarannya kelar. Dari sebelum pintu masuk ke ruang pendaftaran, dibagikan kertas berisi formulir yang harus diperiksa kebenaran datanya (nama, alamat, dll) lalu selembar kertas lagi berisi step by step pendaftaran. Aih, senangnya. Lalu setelah semuanya dicek dan ditandatangani, antre lah itu untuk dicek lagi berkas lainnya.

Setelah itu gw gak perlu ngantri di jalur bertuliskan 'Tuition Fee' karena kan gw berbekal beasiswa dari pemerintah-Inggris-yang-mendukung-perang-Irak itu. Langsung dihantar ke meja selanjutnya, untuk mendapat formulir lagi. Aih bow, dari satu formulir ke formulir lain. Kali ini gw mendapat tiga lembar kertas kuning. Satu untuk daftar perpustakaan, satu untuk daftar students union dan satu lagi untuk dibawa ke fakultas.

Setelah semuanya beres, maka inilah kartu-kartu yang kini ada di tangan gw.



Setelah kartu itu keluar, baru berasa deh. Damn, masa turis gw segera berlalu!

Apalagi kemudian sorenya dilanjutkan dengan pertemuan departmen dan jurusan gw. Jadi, gw kuliahnya adalah di Faculty of Arts and Humanities, Centre for Media and Film Studies, dengan jurusan Critical Media and Cultural Studies. Begitu lah jadinya. Panjang ya bow. Tadinya jurusan gw itu di bawah Departemen Antropologi, yang sama-sama di bawah Faculty of Arts and Humanities juga. Tapi karena ilmunya semakin berkembang (eh, ini bukan ya alesannya? gw ngarang aja siy) maka akhirnya dibikin satu departemen sendiri.

Sejurusan gw cuma 6 orang. Perempuan semua! Temen sekelas gw adalah dua warga Inggris tulen, dua Taiwan dan satu dari Estonia. Salah satu yang dari Taiwan itu namanya Selena, satunya lagi susah karena pake nama Cina gitu, trus yang dari Estonia itu namanya Mari, satu warga lokal bernama Tara dan satunya lagi gw lupa.

Ah, cemas juga gw bakal segera mulai kuliah. Makanya Kamis malem itu akhirnya gw baru tidur jam 5 pagi! Gw paksain segera membaca penjelasan soal kuliah yang bakal/bisa/mesti gw ambil. Belum lagi memahami sistem kuliahnya ntar. Atau cemas mendadak sama buku-buku yang mesti segera gw baca. Ooooohhh tidakkk.. mengapa ini semua harus terjadi?

Jadi begini ya sodara-sodara. Ini dia mata kuliah yang bakal gw ambil :
1. Core course (term 1-2) : Theoretical and contemporary issues in media and cultural studies
2. Optional course (term 1) : The transnational news environment - issues in production, representation and use
3. Optional course (term 1) : Critical approach to the study of regional cinema
4. Optional course (term 2) : Transnational communities and diasporic media - networking, connectivity, identity
5. Optional course (term 2) : Approaches to the other in science fiction and horror films
6. Dissertation (term 3) : entahlah. gw mungkin udah harakiri by then.

Ini sudah melalui pemikiran panjang lhow. Mangkanya sampe jam 5 pagi! Soalnya SOAS itu kan banyak kuliah yang regional-based gitu, sementara gw gak pingin ke arah sana. Gw pinginnya yang tematis aja. Akhirnya gw terdampar juga belajar soal cinema dan film, karena itu yang paling acceptable sama gw ketimbang gw mesti belajar soal musik atau literatur, mengingat gw sebatas penikmat saja untuk dua hal itu.

Jadi, dalam waktu dekat, gw akan melihat London dari perspektif yang berbeda. Menjelajah perpustakaan!

Thursday, September 29, 2005

Hai Kalian!



Ah, gw merindukan kalian untuk impulsif pergi ke McD Sarinah!

Wednesday, September 28, 2005

Hidup Cermat di Negara Poundsterling

Ini tips yang dicatat dengan penuh ketekunan. Thanks to Yudi dan Sari.

- Belanja sayur : di Dolston, Holloway, Chalton Market.

- Beli baju lumayan murah : Pettycoat Lane, turun di Liverpool Street Station, hari Minggu, lumayan untuk belanja oleh-oleh. Ada juga toko Lilly White, jual baju murah meriah harga 1 pounds, letaknya di dekat stasiun Picadilly Circus. Bisa juga beli di charity atau carbooth sale (di Killburn, dilewati Jubilee Line) pada hari Minggu.

- Nuker duit : di Victoria Station, di sebelah luarnya sih, di sebelah Subway. Nuker 100 US dollar bisa dapat 55 pounds, di saat tempat lain hanya mendapatkan 54 pounds. Tapi kalau nuker mata uang asing lainnya, silahkan ke Marks and Spencer.

- Belanja daging pergi ke butcher, belanja daging cincang silahkan beli di Sainsburry dan sebangsanya.

- Supermarket yang paling murah : ASDA. Tesco sih murah, tapi kualitasnya kurang bagus. Sainsburry agak lebih mahal dari Tesco, tapi kualitas boleh ditanya toko sebelah.

- Elektronik : toko-toko di Tottenham Court Road boleh dicoba. Tapi sebaiknya, barang beginian, beli online saja. Bisa lebih murah 100-150 pounds.

- Beli sepeda? Di Brick Lane. Ini sebetulnya tempat jual barang tadahan atau barang hasil curian. Atau bisa juga jajal di Bethnal Green.

- Kalau mau beli sesuatu yang keren (jas, dll) yang mungkin cuma sekali pakai, beli lah di tempat bermerk. Jangan dibuang bon-nya yah! Kalo udah puas dipake, balikin lagi aja ke tokonya. Kalo gak ditanya, sukur. Kalo ditanya, bisa jawab segala macem. Mulai dari sok menemukan kesalahan pada peranti elektronik yang dibeli itu, sampai sok ngaku dapat hadiah barang yang sama persis dengan barang yang kita 'beli' dari toko tersebut. Jangka waktu pengembalian bervariasi, mesti dicek dulu. Dengan langkah jitu ini, dijamin tetep bisa gaya, tanpa keluar uang sepeser pun.

- Makan murah? Jajal lah resto ayam goreng (semacam Kentucky gadungan) yang dijual warga Arab. Dijamin murah. Dengan dua pounds bisa dapat 4-6 ayam, lengkap dengan minuman. Tsaaah, dahsyat banget gak tuh!

Oya. Jangan lupa jajal belanja di ARGOS ya. Ini belanjanya pakai katalog. Jadi pergilah ke Argos, pilih barang lewat katalog, masukkan nomor kode barang yang mau dipesan, dan bayarlah. Lokasinya ARGOS adalah di New Oxford Street, deket Tottenham Court Road.

Cewe Lungsuran

Ah, gw gak pernah sebahagia ini mendapati fakta bahwa gw punya sodara di London!

Satu keluarga muda, tepatnya. Yudi, Sari dan Ansel. Harusnya gw memanggil Yudi ini dengan 'om', karena dia adalah sepupunya nyokap gw. Tapi karena sepantaran, jadilah gw hilangkan kata 'om' itu dengan paksa.

Rumah mereka di daerah Shadwell. Dari Kings Cross, naik tube yang jalurnya pink sampai White Chapel, lalu pindah ke jalur East London dan turun di Shadwell. Daerahnya rada sepi, kalo dibandingin sama Kings Cross atau Angel yang hiruk pikuk ini. Banyak muslim di daerah ini, deket stasiun ada toko yang jual daging halal, lalu banyak orang lalu lalang dengan kerudung atau bahkan cadar. Trus yang juga sering lewat adalah orang kulit hitam, dengan mobil mereka yang kacanya dibuka lebar-lebar dan suara berdentum-dentum keluar dari balik sana. Huhuhuhu, norak. "Kayak angkot di Ambon," kata Mbak Eni.

Setelah menanti Tika dengan cukup lama (hah!), akhirnya kita dijemput Yudi juga. Hai sodaraku! Senangnya bertemu engkau. Jalan 10 menitan, sampai juga kita di rumahnya Yudi. Ah, jangan tanya itu alamatnya apa, atau minimal nama flat-nya itu apa. Disuruh ke sana lagi sendirian pun belum tentu gw berhasil :(

Sari dan Ansel pun menyambut dari balik pintu. Wuah, anak ini lucu banget, matanya besar sekali!



Dari keluarga muda ini, gw-Tika-M'Eni mendapatkan banyak sekali lungsuran. Peralatan rumah tangga, tentunya. Sendok, garpu, pisau, gelas, piring, mangkok, mug, wajan, panci, centong, sendok kayu, perasan jeruk, cobek, kerupuk dan lainnya. Itu pun masih disertai pesan "Tiga hari sebelum kami pulang, ke sini lagi ya!" Hurray!

Jangan lupa juga yang sweater ini. Trims ya Sari, meski lengannya agak cingkrang, ah, ternyata gw oke juga dengan warna terakota ini.



Salah satu kejutan yang paling berharga, yah yang satu ini. Soalnya gw telah mencoba bertahan dengan tape+radio yang gw bawa dari kantor (ups! ah, tapi kan kalo ada liputan bisa gw pake, sungguh deh...) plus beli adaptor (harganya 3 pounds bow. idih. trus gak jelas juga gitu cara berfungsinya, argh!). Dan sekarang.. tiba-tiba.. ah.. what a nice surprise!



Lihatlah betapa dia begitu bersinar!

Pulang dari Shadwell, kami seperti membawa hasil jarahan dari rumah orang. Berat banget tas ini rasanya. Tika pulang ke New Cross, sementara gw-M'Eni kembali ke Kings Cross. Jalan kaki yang nanjak dari Kings Cross kami lalui dalam sepi. Gak enak rasanya bawa barang berat, jalan nanjak tapi sok-sokan pake ngobrol segala. Sampai di asrama, barang jarahan itu segera dibagi-bagi. Cobek batu itu tentu saja jatahnya Mbak Eni. Sementara kerupuk juga gw hibahkan ke Mbak Eni disertai pesan "Ntar kalo udah digoreng, jangan lupa disetor ke kamar gw ya!"

Malam ini, gw menikmati indomi dalam mangkok baru. Menyeruput orange juice Sainsburry dalam mug putih baru. Dan besok-besok siap memasak dalam jumlah banyak dan menaruhnya dalam piring putih baru itu.

Terima kasih, Yudi-Sari-Ansel!

Tuesday, September 27, 2005

Sekardus Indomi di Negeri Seberang

Semula, gw kirain ada China Town di berbagai penjuru London. Eh, ternyata cuma satu yak. Hiyaah.. maaf dong. Akika kan orang baru di sini. Kalo kata Tika "Orang Cina emang ada di mana-mana, tapi ya gak segitunya dong, masa punya China Town di mana-mana." Ya deh.

Tapi sukses juga toh gw nyampe di gerbang merah merona ini.



Untuk menuju China Town ini, bisa menempuh berbagai cara. Oh, tentunya. Kalo dari British Council, jalan lah menuju museum (National Gallery ya kalo gak salah), ada jalan kecil gitu, jalan terus masuk ke sana, ntar nongolnya di Leicester Square. Nah dari situ, banyak papan petunjuk kok. Ngaso dikit lah di taman itu, baru kemudian jalan ke China Town. Gampang kok. Soalnya di Leicester Square dan Trafalgar Square ini banyak banget turis, jadi petunjuk jalan ada di mana-mana. Mudah betul. Dan ini membuat foto-foto gak jadi hal yang memalukan, huekekekekek.

Nah, di China Town ini, toko pertama yang dicari adalah toko bertuliskan 'Indonesia'. Soalnya menurut petunjuk yang sudah dikumpulkan dengan seksama, ada satu toko di China Town ini yang menjual Indomi dan ditandai dengan satu kertas kecil yang berisi petunjuk bahwa toko ini menjual bahan-bahan makanan dari Indonesia.

Asik juga ada di tengah China Town ini. Selain banyak Cina, banyak makanan yang rasanya ramah sama lidah. Belum tau sih ramah sama kantong atau nggak, karena ini yang jauh lebih penting sodara-sodara. Yang lucu juga, HSBC di sini pun pake tulisan bahasa Cina juga. Adaptif banget.

Nah, akhirnya nemu juga tuh toko. Tokonya berbentuk lorong gitu karena memanjang ke belakang. Banyak makanan yang familiar sama mata dan perut, jadi berasa home sweet home. Gw ngambil sarden, Mbak Eni nguber kecap dan Tika berpuas diri dengan coconut juice. Gw juga membeli sekardus indomi, masih patungan dulu sama Mbak Eni karena gw sok gigih pingin masak yang nggenah. (Tsah, sok banget, padahal sampe hari gini belum masak juga tuh! Eh udah deng. Barusan dong gw ngerebus kentang, cihui)

Ada dua lantai. Lantai ground dan lantai basement. Yang di lantai basement itu yang isinya semua buat warga Indonesia. Ya gak semuanya siy. Ada tempe beku, ada sambel abc, ada bumbu jadi nasi goreng merk Finna, ada kecap, dll. Kalo Indomi, carinya di deretan supermi. Di deket kasir. Beli satuan lupa harganya berapa. Kalo sekardus harganya sekitar 7 pounds.

Jadilah kami membeli satu kardus indomi plus beberapa belanjaan lainnya. Monyong, berat ternyata ya sekardus indomi itu. Apalagi kalo mesti dibawa naik turun tangga di stasiun tube dan jalan kaki dari Euston ke rumah. Hmpf, apalagi waktu itu masih dongo, dari Euston mestinya naik tube lagi aja sampe Kings Cross, eh kita kok ya malah jalan gitu lhow. Atau paling nggak, naik bis 73 atau 30 yang lewat Pentonville Road dengan membayar 1,20 pounds. Sedih amat.

Walhasil, sampe rumah, hal pertama yang gw cari adalah.. (malu-malu) Salonpas. Kukukukukukukuk...

Non Bola-ers Plesir ke Stadion

Di Jakarta gak pernah sukses ketemuan, eh, bisa-bisanya gw ketemu kawan lama di London. Perkenalkan, Ravinoldi Boer.



Hoya, juga ada Benhard alias Big Ben. Lalu Rizal, Dika dan Koko. Hai, selamat berjumpa!

Setelah ketemuan deket stasiun Picadilly Circus, kami bergerak menuju... ini dia... tarraa..



Ini dia stadionnya Arsenal di Avenell Road, Highburry.

Seperti juga Tika, bagi gw kata 'Arsenal' sejatinya ini meaningless saja. Kagak doyan bola, pegimane. Tapi gapapa lah. Itung-itung kita plesiran dan bisa bikin iri kawan-kawan se-tanah air yang doyan Arsenal. Huayaa.. kita ke stadionnya Arsenal lhow.

Dari stasiun Picadilly, kita naik tube sampai ke Arsenal. Lalu jalan kaki dikit, sampai lah kita ke stadionnya. Gede siy, tapi sayangnya sepi buanget dan kita gak bisa masuk. Jadilah kita mengagumi (ah, enggak juga siiiyy..) stadion ini dari jauh saja. Ini artinya, foto-foto ya.

Lalu, kita bergerak lagi menuju White Heart Lane. Ini stasiun kereta atas, alias British Railways. Jadi dari Arsenal ini, kita naik tube sampai ke Seven Sisters (tempat kakak gw tinggal dulu nih waktu di London), lalu naik ke atas dan naik kereta sampai ke White Heart Lane. Di stasiun Seven Sisters ini, udah banyak orang yang pakai kaos putih. Kaos-nya Tottenham. Well, meskipun begitu, gw tentu saja mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar sepanjang perjalanan kepada Koko (kameramen TV7).

Citra: Ehm, sebetulnya kita mau ke pertandingannya siapa?
Koko : Tottenham lawan Fulham
Citra: Oooo. Trus yang kaos putih ini Tottenham?
Koko : Iya.
Citra: Oooo. Trus yang di White Heart Lane ini stadionnya siapa?
Koko : (mungkin mulai agak kesal ya, maafkan aku) Tottenham dong.

Lalu, sampailah kita ke White Heart Lane. Stadion-nya Tottenham! Sepanjang jalan, banyak banget orang di jalanan. Rata-rata pake kaos putih itu. Tapi tentu saja dilapis jaket, karena angin cukup dingin malam ini. Banyak yang mulai jualan kaos, topi, pin, syal, dll, pokoknya segala sesuatu yang bernuansa Tottenham deh.

Ini salah satunya. Gaya amat gak siy tu tulisan.



Rame banget orang yang menuju ke stadionnya itu. Kagak berenti-berenti. Polisi juga keliatan jaga-jaga di sana, menunggang kuda yang oh ukurannya berbeda betul ya dengan kuda di Puncak (tsaaahh, ngebandinginnya kok sama kuda di Puncak!). Di dalam stadion juga mulai terdengar berisik, di jalan orang juga mulai teriak-teriak, dan Boer pun laporan buat TV7. Biar keliatan kerja tuuuhh...



Setelah puas foto-foto dan waktu juga semakin malam, akhirnya pulang lah kita. Kita pulang naik bis yang menuju ke Kings Cross. Dari situ pun kita semua misah. Rombongan Boer dkk menuju ke Fulham Broadway, tempat mereka menginap bersama pemenang kuis dan dealer-dealer Samsung itu. Tika pulang (akhirnya) naik tube, setelah dua kali ditolak bis nomor 63 yang sebetulnya langsung menuju ke rumahnya di Pecham sana. Sementara gw dan Mbak Eni seperti biasa, jalan kaki menuju rumah.

Asik juga ya ternyata nonton bola! (hayyyaa..)

Sunday, September 25, 2005

Kehangatan Datang Juga

Jadi begini.

Ayah gw yang keji kejam itu (hai ayahku!) inspeksi koper dengan sangat seksama sebelum koper akhirnya ditutup. Walhasil sih emang berhasil dikurangin 2 kilogram ya berat koper gw. Ada shampoo, ada bahan-bahan acehkita, ada buku dan lainnya yang dikeluarin sama dia.

Dari awal gw tau koper gw bakal diinspeksi. Jadi gw sama sekali gak terpikirkan untuk membawa barang-barang yang gede, karena udah pasti bakal dibongkar paksa. Termasuk, tak memikirkan untuk membawa selimut.

Pada saat yang sama, Mbak Eni membawa satu tas khusus untuk bawa bed cover dan Tika juga memuatkan selimut tebal dalam kopernya. Hm, oke. What do I got? Ternyata emang gak bawa kehangatan apa-apa. Well, kecuali dalam hati sih (hush, garing ah!).

Untunglah gw teringat postingan sesama kawan Chevening sebelum berangkat. Pesan moral dari emailnya waktu itu adalah : jangan ragu mengambil selimut dari maskapai penerbangan. Hm, oke. Gw sudah teringat itu begitu memegang selimutnya Cathay Pasific. Tapi karena gw gak bersama sesama Chevening, terus sebelah gw ada mas-mas yang tampangnya rada sok cool tapi lumayan ganteng (hai kamyu, jangan mules ya!) yah.. jadinya gak jadi deh. Sebetulnya gw udah sok-sokan mau keluar belakangan, tapi si mas-mas ini lebih sok-sokan lagi. Wasalam dah tuh selimut Cathay.

Di penerbangan kedua, niat gw semakin bulat. Selimut ini HARUS gw miliki. Untunglah, sederetan gw anak Chevening juga, yang sama-sama punya niatan serupa. Jadilah akhirnya itu selimut kita paksakan masuk dalam ransel, apa pun yang terjadi.

Sampai di asrama, bener aja. Memang seprai, bantal, selimut gak disediakan oleh asrama. Kalau mau, beli sendiri. Gitu pesannya dari jauh-jauh hari. Tapi kan gw gatau mesti beli selimut yang kayak gimana. Ya hiya, pasti mesti beli yang anget, tapi kalo gak salah inget cerita kakak gw, ada klasifikasi selimut juga. Jadilah gw tunda-tunda dulu beli selimut, dan mendahulukan beli seprai, bantal dan sarung bantal.

Hari pertama, lancar. Selimut British Airways berfungsi dengan baik. Hari kedua, lancar juga. Begitu juga hari-hari selanjutnya. Tapi setelah gw tilik dengan baik, gw sering kebangun tengah malem (jam 7 waktu Jakarta) karena berasa kedinginan. Trus punggung gw jadi sakit karena gw tidur merungkel, demi mendapatkan kehangatan. Tidur dalam posisi ng-udang (huayyaaa.. kayak kamyu!).

Oke, beli selimut tak boleh ditunda lagi nih!

Jadilah tadi gw ke Angel, jaraknya gak jauh lah dari asrama. Gw kembali bertemu dengan penjual seprai gw, tapi dia kehabisan stok single duvet (baca : duve). [Hm, gw gatau juga ya kenapa mereka menyebut 'selimut' dengan 'duvet'. Atau ada arti tertentu dari 'duvet' ini? Entahlah. Saya orang baru di sini.]

Trus gw berjalan beberapa langkah, ke toko yang juga jual bed linen and stuff. Setelah melongok-longok, ketemulah itu duvet yang gw cari. Ada yang single. Lalu si pak penjaga toko bertanya "Would you like the polyester or cotton one?" Haduh, mana eke tau. Ternyata maksudnya tuh bungkusnya si duvet ini, bisa poliester atau katun, karena isinya sih sama aja. Harga dong yang ditanya duluan, itu paling penting. Yang poliester itu 8 pounds, sementara yang katun 10 pounds. Crystal clear. Udah pasti gw pilih yang poliester. Murah.

Sembari nunggu orang itu ngambilin single duvet yang gw minta karena dia lagi sibuk ngelayanin pelanggan yang lain, gw memperhatikan bagian belakang covernya si duvet ini.

Ada petunjuk tingkat kehangatan ternyata. Satuannya adalah 'tog'. Jangan tanya ya 'tog' itu apa. Jadi kalo untuk summer use, selimut itu cukup 4,5-7,5 togs. Sementara untuk kategori warm, pilihlah selimut dengan 7,5-12 togs. Dan untuk extra warm, kategorinya adalah 12-15 togs. Gw langsung nyari-nyari yang 15. Warga daerah tropis kayaknya butuh kehangatan lebih dahsyat toh. Hm, yang paling gede tog-nya ternyata tinggal satu duvet saja, ukuran single, dengan 13,5 togs. Boleh lah.

Tunggu punya tunggu. Lama juga si doi ini ngelayani pelanggan yang lain. Dia bolak balik minta maaf siy. Dan dia sungguh baik hati. Dia pun memberikan diskon! Hore! Yang tadinya selimut duvet itu berharga 8 pounds, dia memberikannya kepada gw hanya dengan 7 pounds saja! Hore! Senangnya! 1 pounds terasa begitu berharga...

Jadi sekarang, tempat tidur gw udah makin cakep. Seprai ungu, bantal bersarung pink dan selimut duvet berwarna putih cemerlang. Tinggal cari bungkus duvet aja. Belum nemu yang saik.

Ini dia tempat tidurku sekarang.



Selamat datang kehangatan.. ah, tidur gw pasti nyenyak malam ini..

Perkenalkan, Super Asia!

Anjrit nih kartu. Tampilannya keren be'eng gini!



Ini adalah international calling card, yang direkomendasikan oleh sesama warga Indonesia di London (hai Desi!). Dia mempromosikan, kartu ini adalah yang paling murah untuk menelfon ke Indonesia sepuas hati. Menghapus jarak dan waktu dengan siapapun di ujung telfon.

Kombinasi kartu dan toko juga perlu diperhatikan. Kartu Super Asia ini paling murah di satu toko kecil di Leicester Square. Harganya 10 pounds, padahal harga yang tertera di kartu adalah 20 pounds. Ih keren toh. Perhatikan ya, di Leicester Square ini kan ada satu toko gede Switzerland, yang tiap jam ada lagu-lagu dan boneka-boneka kecil nongol, kayak di Plaza Senayan gitu deh (ah, udah pasti Playan yang niru bukan?). Di seberang Switzerland itu, ada KFC. Telusurilah sisi KFC, maka kau akan menemukan toko kecil, dengan penjaga seorang lelaki Cina. Gw lupa nama tokonya. Ada kata 'Wong' atau 'Fung' gitu deh kalo gak salah. Di salah satu tempelan brosurnya ada gede-gede Super Asia gitu. You won't miss it.

Sini, mari gw ajarin gimana make kartu Super Asia ini. Eh, gw jadi inget wafer coklat Superman nih liat tampilan ni kartu.

Kartu ini digunakan dengan menekan nomer telfon yang tertera di balik gambar Superman. Ada nomor London Access, ada juga nomor Freephone Access. Jangan lupa menggosok bagian item-item karena di baliknya terdapat PIN yang juga harus dimasukkan ketika menelfon.

Menurut brosur, untuk ke Indonesia Jakarta, maka kartu telfon ini bisa digunakan up to 4000 menit. Bayangkan. EMPAT RIBU! Hayo berapa jam tuh! Silahkan berhitung ya. Gw bagian ngaga aja deh. Kayaknya empat ribu menit itu untuk nelfon ke nomor fixed gitu, jadi kalo ke hp pastinya menitannya lebih pendek.

Ada dua nomor yang bisa ditelfon. Kalau menelfon ke London Access, maka prosedurnya gini. Kalo kita pake telfon rumah, maka kita bayar ongkos untuk nelfon ke 020 bla bla bla itu, lalu kemudian kartu telfon baru beraksi setelah kita masukin pin, untuk ngebayarin ongkos kita nelfon siapa pun itu di ujung sana. Begitu juga kalo kita pake hp atau payphone, kita bakal kena ongkos nelfon pakai hp atau koin 20 pence ke atas. Jadi, itungannya kepotong dua kali. Pertama, kita mesti bayar ongkos nelfon ke London Access; kedua, angka menitan dalam kartu telfon itu juga tereduksi.

Nomer kedua adalah Freephone Access. Kalo ini gretong, tapi cuma bisa dari telfon rumah. Begitu masukin nomor 0800 bla bla bla itu, terus nomor pin kita, ya udah, langsung si kartu telfon Super Asia ini yang beraksi menanggung biaya telfon kita semua.

Tentu saja lebih menguntungkan pakai yang nomer Freephone Access toh. Tapi, berhubung TELFON DI KAMAR GW SEBATAS PAJANGAN, jadilah semalam gw menjajal kartu Superman ini di telfon umum di gedung sebelah. Nelfon di payphone, nyender dinding kiri, depan mata gw tempat sampah, sebelah kanan gw vending machine gw yang kadang berisik dan kadang diem. Syedep banget dah tu tempat.

Oiya. Int'l calling card ini juga bisa dipake untuk nelfon sesama kawan di UK. Prosedurnya seperti biasa, tapi mestinya siy lebih hemat daripada ngandelin vodafone yang gw pake sekarang ini. [Vodafone gw ini kalo ngirim sms ke sesama nomer UK adalah 12 pence, sementara kalo ngirim ke Indonesia itu 24 pence (= 4 ribu perak = mahal = ngehe)].

Yang pasti, selama di sini, pasti jadi siksaan banget buat 'banci' nelfon dan sms kayak gw ini.. ohh..

London dalam 384 Halaman



Buku London A-Z adalah andalan para turis untuk menjelajah kota London. Ada yang bentuknya buku, ada yang jilid biasa, ada yang ring besi, ada yang bentuknya peta lipat. Gw pilih yang buku berjilid biasa, beli di sembarang toko kecil gitu seharga 4,95 pounds (heran, di laptop ini ada di mana ya lambang poundsterling itu?).

Buku ini terdiri dari 384 halaman. Sampai halaman 173 isinya peta, sisanya adalah direktori nama jalan. Ini andelan gw banget lah untuk mencari berbagai jalan. Untuk jalan dari asrama gw ke kampus yang di Vernon Square dan di Russel Square, sukses gw jelajahi berdasarkan peta. Begitu juga untuk nyampe ke British Council, yang eh ternyata surprisingly melewati daerah Soho dan Trafalgar Square. Lumayan, numpang lewat, eh ternyata emang ke tempat turis.. where I do belong, huakakakakak.

London A-Z ini menjadi pelengkap kostum gw sehari-hari. Dengan jaket, tas kecil hitam eastpak (ealah, ini kan punya kakak gw ya, kenapa gw bajak dan gw bawa ke sini... huhuhu, gw sok lupa gini..), dan tas ransel berisi jaket yang lebih tebal + minum + cemilan (gw yakin berat gw masih bertahan di 51,5 kg, percayalah). London A-Z tentu siap di tangan, gw balik-balik sembari jalan, untuk lebih menghayati setiap jalan yang gw lalui.

Padahal, kata pak pulisi yang juga bicara di Orientation Weekend for International Student at SOAS kemarin, jangan jalan sambil baca peta. Tentukan rute, fotokopi saja peta itu dan highlight jalan yang akan dilalui. Karena begitu jalan dengan bolak-balik baca peta, maka elu akan ketauan sebagai turis yang gak paham jalan. "Then you're becoming a victim." Begitu katanya.

Bener juga siy. Tapi kan gw gak bisa fotokopi tu peta setiap waktu. Apalagi menghigh-light peta tersebut dengan stabilo yang gw bawa. Pertama, sayang. Kedua, gambar peta yang ada di London A-Z itu juga berwarna kuning. Lah, naon, masa kuning gw timpa kuning. Kayak jeruk makan jeruk dong.

Walhasil, gak nahanin lah untuk gak buka peta itu setiap saat. Atau at least menggenggamnya sehingga bisa dirujuk sewaktu-waktu. Kalo kemarin-kemarin, gw sambil jalan liat peta, maka Mbak Eni yang memantau sekitar gw. Kalo sekarang, gw mencoba lebih dewasa dan bijaksana (taelah, gaya), jadi kalo mau baca peta, minggir dulu aja. Jangan sambil jalan gitu. Eh, itu lebih bijaksana gak ya? Huehehehehe..

Dan kelak, setiap lembar peta itu akan gw jelajahi. Eh, penting gak siy?

Friday, September 23, 2005

Mereka Harus Banyak Belajar Dari Kita

Hari ini gw mencoba membuka bank account untuk menerima uang saku bulanan gw dari British Council. Uang saku gw adalah 854 pounds sebulan, yang separuhnya akan habis untuk membayar akomodasi gw yang kini bernuansa ungu-pink ini (ih, keren, sumpeh). Dua bank yang deket sekolah gw adalah HSBC dan Barclays (ini yang suka nongol logonya kalo ada pertandingan bola kan ya?)

Nah, gw datang lah ke HSBC. Ada di pojokan jalan, deket stasiun tube Russel Square. Kantornya kecil, officernya muda-muda. Salah satu teller-nya gondrong gitu. Trus customer service-nya, idih ganteng, tipe-tipe bule doyanannya Nita gitu dah. Tapi ok cool, huh, dia tau kalo dia ganteng kali ya. Bla bla bla, gw tanya lah sama dia imana caranya bikin bank account untuk international student. Gw yang udah nongol di depan mata dia itu disuruh register online. Ooooh... tidak kah kau bisa mengambil formulir dan mencatat nama saya sebagai customer baru? Hmmmhhh. Tapi dia bilang "You have to register online first." dengan muka dingin. Huhuhuhuhu, ya deh ya deh ya deh.

Prosedur selanjutnya setelah registrasi online? Oho, masih panjang sodara-sodara. Setelah registrasi kelar, maka HSBC akan mengirimkan nomor ID yang harus kita simpan. Lalu, HSBC akan mengirimkan berkas yang harus ditandatangani. Untuk itu, butuh waktu LIMA sampai SEPULUH hari. Hmpf. Lalu, kita harus melengkapi dokumen yang sudah ditandatangani itu dengan paspor, serta bukti alamat di London dan bukti sebagai student. YANG ARTINYA semua itu baru bisa dikerjakan setelah gw melakukan pendaftaran di kampus, yang baru terjadi di hari KAMIS mendatang. Omigod! Nah, kalo itu semua durjana sudah dilalui, do you think this is over? NOT YET. Karena kita harus sabar dalam penantian menuju bank account itu dibuka sekitar DUA sampai TIGA MINGGU.

Dengan bersungut-sungut, gw beralih ke Barclays. Siapa tau dia menjanjikan pelayanan yang lebih oke. Jaraknya deket aja sih, beda pojokan ajah, sama-sama di Russel Square, deket sekolah gw. Officer-nya memang lebih responsif dan dia langsung menjanjikan pembuatan bank account akan berjalan sangat cepat. Dia langsung sok ngebandingin sama pesaing, yaitu HSBC ("they take a very long time rite to open a bank account?") serta Natwest ("ah, they will ignore students for sure!"). Ah, gw mulai tergoda dong. Mulai tanya-tanya dengan hati berdebar, dapatnya kartu apa aja yaa. Ternyata dapat cheque book dan kartu debit. Kartu debit ini bisa buat belanja, bisa buat narik duit di ATM. Sebangsa kartu paspor BCA lah. Kalo HSBC dia cuma ngasih kartu debit itu aja. Tok til.

Tapi syaratnya dong mannnaaa ttaaaahhhaaaannn.. Di dalam account itu harus ada minimal 2000 poundsterling, kalo gak akan dipotong 5 pounds setiap bulannya. ASTAGA! DUA RIBU poundsterling??? (silahkan berhitung, sekarang 1 pounds itu sekitar 19 ribu perak) Gimana gw bisa mendapatkannya?? Gw gak sanggup nahan diri untuk gak tercengang di depan dia. Entah kenapa ya gw langsung cerita aja bahwa BC gak bakalan ngasih uang saku segitu gede. Hmpf, begitu dia tau gw gak bakalan masukin 2000 pounds ke bank-nya, karena uang saku yang cimot itu, dia langsung ogah-ogahan gitu menghadapi gw. Huhuhuhuhu, rese bangettttt..

Nah, KALOPUN gw sanggup menyediakan uang 2 ribu pounds untuk pembukaan rekening, maka tu duit mesti gw mastiin segera muncul di account itu toh. Tapi, butuh waktu untuk transfer dari bank di Indonesia ke bank Barclays ini di London. Kata mbak berseragam biru itu "It may took about 2-3 weeks." APAAAAA? Lama lagi neh? Gatau apa gw yang kaya raya ini siap mindahin seluruh duit gw ke Barclays? (lah, duit syape yang mau dipindahiiinn.. kita minta tolong babi ngepet aja kali yak, atau tuyul.. kan bisa melipatgandakan uang tuh! hm, why didn't i think of this before...) Dan dia juga bersikeras, mereka harus melihat uangnya ready dulu di bank sebelum menyetujui pembukaan rekening. Rekening boleh aja dibuka, tapi gak akan dapat apa-apa. Kartu debit pun enggak. Jadi kalo mau ngambil duit, ya mesti ambil duit cash. Dapet kartu atm aja gitu.

Jadi, pilihan gw adalah... ah, ya terpaksa HSBC lah. Apakah ada pilihan lain? Hmpf. Jadilah masih lamaaaaa sekali gw baru akan mendapatkan rekening gw. Huh, gak tau apa mereka international student itu aset bagi pemerintah Inggris? Huhuhuhuhu.

At this point, mereka harus banyak belajar dari Indonesia soal ini. Bayangkan, membuka rekening di Indonesia kan begitu mudah. Tinggal bawa 500 ribu perak, siapin KTP, lalu eng ing eng, rekening sudah bisa langsung dibuka. Kartu pun langsung jadi, bisa langsung dipake dan sebagainya. Dan semua bakal berlangsung dalam satu hari saja.

Oh, negara dunia ketiga emang bisa melakukan segalanya!

Thursday, September 22, 2005

Siapakah Paul Robeson?

Entahlah. Yang jelas, nama dia diabadikan jadi nama asrama gw.

Pintu gerbang masuk ke asrama gw itu berwarna biru, dari besi, garis-garis. Untuk masuk, mesti menggesekkan kartu magnetik. Karena kami warga baru yang belum dapet kartu apa-apaan, terpaksa dengan wajah nelangsa nunggu ada orang masuk jadi bisa ikut-ikutan masuk (ah, gak gitu-gitu amat deh). Dari jauh, asrama gw itu keliatannya suram. Soalnya milih warna bata temboknya itu yang warna coklat pucat gitu. Gantung banget deh, kurang cerah ceria gitu.

Ada pos satpam di sebelah kiri gerbang, kalo gw menghadap ke arah gerbang. Di dalamnya ada monitor tivi tempat dimana dia memantau pergerakan kamera CCTV yang dipasang di berbagai tempat. Kalo gak salah ngintip, ada sekitar 11 kamera yang ditempelin di sana sini.

Dari arah gerbang, di sebelah kanan adalah asramanya anak UCL, sementara di tengah dan sebelah kiri adalah asramanya anak SOAS. Setelah melakukan pendaftaran, mendapat receipt of payment dan dapat kunci magnetik plus kunci biasa, gw bergeser ke gedung yang sebelah kiri. Gedung yang tengah itu adalah gedung A, dibelakangnya adalah gedung C, sementara gedung gw ada di sebelah kiri, yaitu gedung B.

Untuk masuk ke gedung B, harus menggesek kartu magnetik. Lalu naiklah gw ke lantai 4. Terima kasih Tuhan, gak perlu naik tangga, tapi tinggal naik lift saja. Tapi tentu saja ada juga tangga biasa untuk tangga darurat. Begitu nyampe di lantai 4, belok ke kiri untuk masuk ke pintu putih bertuliskan 4/4. Berarti, lantai 4, cluster 4. Cluster gw ini berhadapan dengan cluster 4/5 berpintu putih dan di sebelah kanan lift adalah cluster 4/3 berpintu pink.

Masuk ke cluster 4/4 ini pakai kunci biasa. Lalu masuk ke pintu nomer 1, kamar gw, juga dengan pintu biasa.

Eng ing eng, ini dia kamar gw, cihui kan!



Lihat tuh seprai ungu dan sarung bantal pink-nya. Adudududu, cakeup banget dah kamar gw. Gw berasa romantis, huhuhuhuhu. Di kamar gw ada telfon (tapi untuk mengaktifkannya maka harus bayar pakai kartu kredit atau keycom voucher, jadi ya kita biarkan telfon itu berfungsi sebagai pajangan aja), ada sambungan internet gretong, empat colokan tiga pin, satu hardboard di depan meja untuk ditempel-tempelin segala macem, rak buku, jendela dengan bukaan atas bervertical blind, lemari satu pintu (karena itulah baju tetap gw taro di koper aja biar gampang), satu kamar mandi kecil (shower, toilet, wastafel, cermin).

Cukup begitu saja. Jangan lupa, it costs me 105 pounds a week! Huh.

Dalam satu cluster gw itu ada lima kamar. Ruchi dari India, Akiko dari Jepang, Xiaoying dari Cina dan oh no gw lupa namanya yang satu lagi, perempuan berambut panjang warna hitam bersemu ungu gitu deh. Trus dalam satu cluster ini juga, ada satu dapur bersama. Akiko dan Ruchi udah ngetek dua lemari di dapur ini untuk dilengkapi dengan bahan-bahan masakan dan kitchen utensils mereka. Ih, lengkap banget. Jadi bawaan minjem, ketimbang beli.. huehehehe.

Eh tapi, kok gw baru nyandak. Kunci gw itu kan bisa dipake untuk masuk ke pintu cluster PLUS pintu kamar. Hoho, kunci itu berarti bisa dipake juga buat masuk ke kamar yang lain dong? Nah lho nah lho...

Ah tauk ah. Kita percaya diri aja deh. Dan banyak-banyak berdoa. Taelah, suit-suit.

Turis Pelajar Sok Naik Taksi

Padahal naik taksi di London adalah salah satu hal yang paling tidak disarankan. Mahal. Macet. Tapi ya gimana, wong bawaan segambreng gitu. Masa iya mau naik tube yang stasiunnya melibatkan puluhan anak tangga gitu.. Bawaan gw gak gitu-gitu amat siiyy.. koper 28 kg, satu ransel backpack 8 kg dan 1 tas laptop 5 kiloan deh. Mayan.

Tapi berhubung gw ada barengan ke asrama, yaitu bareng Mbak Eni, jadilah kami memutuskan untuk naik taksi. Ohoi, cihui.

Pilihannya ada dua : black cab dan mini cab.

Black cab adalah yang paling terpercaya. Tapi sekaligus juga paling mahal. Bentuknya seperti mobil kuno. Row pertama tentu saja untuk supir. Row kedua yang untuk penumpang lumayan lega. Koper aja bisa ditaro dengan leluasa di situ. Ini memang yang paling dianjurkan, tapi kan isi kantong kita gak mengijinkan.

Akhirnya pilihan jatuh kepada mini cab. Gak mini-mini amat siy. Wong mobilnya layaknya silver bird di Jakarta. Tapi tarifnya lebih murah. Pesan moralnya cuma satu, pilih taksi yang berlisensi. Lisensinya ini menandakan bahwa ni taksi punya ijin (ya iya lah.. pan punya lisensi, pegimane atuuuhh..). Kalo terjadi apa-apa sama si penumpang, polisi bisa nyari ni taksi dan minta pertanggungjawaban. Tapi kalo pake taksi yang tidak berlisensi ya wasalam aja. Lisensinya nih taksi bisa dilihat lewat stiker yang ada di kaca depan taksi ybs, ada

Caranya adalah begini. Kita menelfon ke nomor bebas pulsa dari perusahaan mini cab itu. Ada beberapa perusahaan. Kita pilih salah satu aja, tanya ke desk information yang ada di bandara. Setelah ditelfon, pesan lah itu satu taksi dari Heathrow ke alamat kita. Lalu akan muncul seorang laki-laki perkasa memegang kertas bertuliskan nama kita. Oh dialah kekasih hati kita pagi itu.

Gw, Mbak Eni dan Pauline ternyata bisa diangkut dalam satu taksi yang sama. Gw dan Mbak Eni sudah pasti ke Paul Robeson House, sementara Pauline mau ke asrama-nya LSE di tepi sungai Thames. Okeh, deal punya deal (gak gigih-gigih amat siy, wong gatau gimana nawarnya), disepakati lah rate taksi ini. Untuk gw dan M'Eni adalah 38 pounds, sementara untuk Pauline adalah 40 pounds karena lebih jauh.

Ih, curang banget gak sih. Kalo di Jakarta, maka si Pauline kan tinggal bayar terusan ongkosnya aja toh, antara asrama gw sampai asramanya dia. Tapi ini dia mesti bayar full fare gitu, meskipun berbagi taksi bareng kita. Kalo mau kan total fare taksi dari Bandara Heathrow sampe ke asramanya Pauline, terus bagi tiga. Eh, gimana yang adil ya sebetulnya? Oh sebodo teuing lah.

Ok. Sekarang kita naik taksi. Oh, baru diketahui kemudian bahwa ternyata penumpang taksi harus menanggung biaya parkir selama di Heathrow. Si pak supir ini markir di Heathrow dengan harga 1,20 pounds.

Taksi di London (atau mungkin di seluruh UK) dilengkapi dengan GPS. Jadi, sebelum berangkat, pak supir (gw belum nemu yang perempuan siy) akan menanyakan alamat lengkap. Ini termasuk kode posnya. Alamat gw adalah : 1 Penton Rise, London WC1X 9EH. Lalu dia ketik itu alamat dan kode posnya, lalu muncullah peta di alat GPS-nya. Peta ini menggambarkan jalan dari Heathrow menuju asrama gw.

Idih enak banget jadi supir taksi kalo gini caranya.. gw juga sanggup.

Dan alat ini beneran curang banget. "100 yards from now, turn left." "Stay on the right, then after the corner, turn right" Coba tuh, enak banget dong dapet instruksi lisan seperti itu dalam perjalanan satu titik ke titik lain. Tinggal ngikutin aja petunjuknya. Tapi karena gw mesti terlihat gagah di bidang perpetaan, maka gw ngeliat jalur yang kita lewatin lewat peta Time Out London yang gw punya. Gw sibuk nyocokin nama jalan yang gw liat di plang dengan tulisan mini dalam buku Time Out itu. Btw, plang jalan di London tidak ditaro di plang berwarna hijau dengan pipa besi yang menyangganya, seperti di Jakarta. Tapi plang nama jalan ditulis pada pelat berwarna putih dan ditempelin di sisi atas dinding bangunan pertama yang ada di ujung jalan. Jadi, kalau mau liat nama jalan, emang mesti dari ujung, karena pas di tengah-tengah udah ga ada kesempatan lagi untuk mengintip nama jalan.

Ketika perjalanan sudah makin mengarah ke asrama gw, GPS-nya kyaknya ngadat. Atau supirnya yang ngadat? Abis bilang "turn left", tiba-tiba langsung ngomong "turn right". Padahal kan kita ngandelin dia banget untuk nyampe rumah.. Akhirnya sempat lah itu kami berputar-puar blok yang berada di seberang asrama kami. Astaga. Mending kalo muter-muternya cepet, lha wong ini kehambat macet..

Setelah berputar-putar tak karuan, akhirnya terlihat juga plang "Penton Rise" dan tepat di pojokannya berdirilah itu asrama kami. Paul Robeson House. Uang 38 poundsterling pun beralih dari kantong kami ke saku si pengemui kami yang telah mengantar kami ke asrama.

Dan jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi saat itu.

Wednesday, September 21, 2005

Selamat Datang di London!

Ah, nggak. Tentu gak ada plang itu yang menyambut kedatangan kami ber... (oh no, rombongan kami berapa orang ya?) tiba di Bandara Heathrow, London. [ket : foto diambil paksa dari multiply-nya Martin, maaci yaaa]



Perjalanan yang melelahkan. Tujuh belas jam saja. Dibagi dalam dua kali penerbangan, yaitu 4 jam bersama Cathay Pasific dan 13 jam bersama British Airways. Yaaahh... mayan lah. Makanannya sih lumayan oke aja. Gw gak komplain lah soal makanan. Maklum, bagi gw, rasa makanan hanya dua : enak dan enak banget. Jadi tentu saja tidak ada satu pun orang yang perlu khawatir gw gak suka masakannya, haha.

Perjalanan agak seru seram menegangkan. Soalnya beberapa kali (sering pula) kita melewati daerah-daerah yang bercuaca buruk. Makanya, jadi ajrut-ajrutan gitu. Pas penerbangan yang pertama, ada satu bapak-bapak yang tidur maksain merem gitu, sambil komat kamit baca doa. Gw terpikir "Bapak itu mungkin punya sodara yang meninggal pas kecelakaan Mandala kali ya, makanya trauma gitu," sekaligus heran sendiri kenapa gw gak berasa takut sama sekali pas pesawat ajrut-ajrutan gitu.

Pas penerbangan kedua, asik, berempat sebelahan sama sesama anak Chevening. Sekawan sepenanggungan. Martin, Tika, gw, Pauline. Di saat itulah gw baru tau bahwa simcard Mentari sejatinya bisa dipakai di London. Untuk sms lah minimal, dengan biaya sekitar 2000 perak. Aarrrgggghhh... kenapa juga gw baru taunya sekarang yaaaa.. Sebelumnya juga agak tau sih, karena Martin udah posting soal ini. Tapi gw underestimate, ya iyalah, masa kartu pra bayar bisa hebring begitu. Eh, nyatanya betulan bisa. Huhuhuhu. Gw dan Tika langsung dirundung duka dah.

Sepanjang perjalanan, Pauline tiwas gitu. Nenggak antimo, biar gak mual muntah sepanjang penerbangan. Soalnya di empat jam pertama, Pauline sukses muntah. Karena tak ingin menjadi keledai, sejak awal Pauline ngajak tukeran tempat sehingga dia yang deket lorong, nyiapin 2 kantong kertas buat muntah dan menggenggam erat obat antimo sembari merem. Buset dah tuh anak, sepanjang perjalanan tidur melulu. Walhasil kalo gw mau pipis, terpaksa melumpati dia. Kalo dia bangun, pesawat gunjang ganjing dan dia muntah, kan gw juga yang repot.. huehehe..

Untungnya gw juga bisa menikmati perjalanan dengan baik, alias : tidur. Gw udah cemas bakal kedinginan, seperti ketika gw terbang ke Swedia dulu. Dengan dongonya waktu itu gw full fashion gitu, kayak gw ada di outdoor, karena gw kedinginan banget. Untunglah kali ini gw gak norak-norak amat, huhuhuhu.

Dan akhirnya setelah 17 jam, perempuan itu berkata juga "Welcome to Heathrow Airport, London."

Selamat datang, semuanya!