Media Scholars Wannabees
Barusan kelar pertemuan informal pertama barengan temen sekelas bareng Mark Hobart. Mark Hobart ini adalah dosen core course (mata kuliah wajib) gw yaitu Theoretical and Contemporary Issues in Media and Cultural Studies. Dia emang sengaja ngumpulin murid-murid MA-nya, menjelang tugas akhir essay yang harus kita kerjain.
Jadilah kita berkumpul di ruang kerja Mark Hobart. Enam orang. Gw, Maria (Italia), Tara (Inggris, lahir di India), Mari (Estonia), Wan-jin dan Selena (Taiwan). Selain ngomongin soal essay, Mark juga pingin dapet feed-back dan menampung keluh kesah kita selama lima minggu terakhir. "Any thoughts, questions, worries?" Kalimat itu juga yang selalu dia ungkapkan di akhir kuliah dia. Hum, tu orang emang baik banget. Sumpah deh.
Kekhawatiran kita semua ternyata sama. Shocked with all those theoretical and philosophical hocus pocus. Seperti Selena bilang, "We know that those are great names that we should have a grip on, but when I went to the library to borrow their books and started reading, I started to feel... I can't understand any of these!" Betuuul betuuuul, tepat sekali. Begitulah hidup yang harus gw lalui di sini. Nah, jelas kan kenapa gw malesss cerita tentang sekolah gw? Kekekekekek...
Setiap minggu kita emang selalu diperkenalkan dengan tulisan orang-orang 'hebat' ini. Paling enggak sampe sekarang kita udah berkenalan dengan Adorno, Horkheimer, Ricoeur, Mulvey, Hall, Baudrillard, Barthes, Laclau. Dan ini betul-betul jadi perkenalan yang teramat singkat. Cuma sempet sekali baca dan minggu depannya udah ganti topik lagi. Sungguh siksaan luar biyasa.
Pas Mark ngajar kuliah tentang Ricoeur, dia bilang "I've been reading Ricouer for about 10 times and everytime I read this, I gain a new knowledge of him." Yeayeayea, dia enak baca sepuluh kali. Lah kita, dua kali aja udah sukur gilaaa...
Di pertemuan tadi, Mark menenangkan kita. Jangan terlalu khawatir sama essay-nya. Tenang aja. "You have the whole holiday to do your essay." (in other words, congratulations, you have no holiday! yuppie!) Lalu dia mulai bercerita tentang struktur essaynya nanti seperti apa dan bagaimana teori-teori itu akan bermunculan di hadapan kita. "Don't put every approaches we studied in your essay, it would be impossible." Ah tentunya dong. Udah gila apa kita masukin semua pendekatan yang ada... Itu namanya mati mampusssss.
Lalu kita mulai berlatih mengelaborasi berbagai ide yang ada. Maria cerita tentang culture shock-nya dia sebagai orang Italia yang berhadapan dengan media di Inggris. Dia menyebut salah satu acara tivi di London yang dalam bahasa dia "A Freak Show". Karena isinya adalah cerita tentang orang yang lahir tanpa kaki atau orang yang berbulu di seluruh wajahnya. Lalu dia cerita juga tentang majalah mingguan yang salah satu rubriknya adalah ajakan bagi para cowok untuk motret his girlfriend's breast, dan dikirim ke majalah untuk kemudian diundi, mana yang paling bagus. Menurut dia itu sinting abis-abisan.
Kemudian Mark mengajak kita mengelaborasi 'problem' itu. Pendekatan mana yang bisa dipakai, teori siapa yang tepat masuk ke situ. Penjelasannya sangat sederhana, terstruktur dan luar biasa menenangkan. Betul, sungguh menenangkan. Kayaknya dosen gw jaman kuliah dulu gak ada yang soothing kayak begini.
Intinya, kata Mark, adalah menemukan problem itu dulu. "I have an itch which I want to scratch." Lantas segera saja ide-ide lama yang selalu ada di kepala gw bermunculan kembali. Soal penulis sinetron Indonesia, soal Joe Millionaire Indonesia, soal 68h saat mau menerima kunjungan FPI, soal pengambilan gambar sinetron Indonesia, ah soal macem-macem dah. Berjejalan lah itu semua di kepala gw. Sepertinya yang lain juga begitu karena muka-muka gembira mulai ada di wajah Maria, Tara, Selena, Mari dan Wan-jin.
Dua jam lah kita ngobrol ngalur ngidul soal essay di ruangannya Mark Hobart. Setelah kelar, dadahan sama Mark, kita masih ngobrol lagi di ground floor. Tadinya pengen makan bareng, tapi Tara ada belly dancing class (yeiha!), Wan-jin mesti ke computer room sementara Selena, Maria dan Mari rumahnya rada jauh. Udah kemaleman, pun dinginnya masya ampun. Jangan lupa, di London sekarang suhunya udah di kisaran 5 derajat Celcius sajah.
Ah bener deh. Ternyata kita berbagi kekhawatiran yang sama persis. "I thought I have to write my essay on 'hegemony' though I don't know what to write. Now I know I can write my essay on everything!" Idih, asik banget deh dengerin Maria ngomong dengan gaya Italia-nya itu. Keyen. Selena trus ngajakin kita untuk ngumpul tiap pekan sebelum kelas Senin siang bersama Mark Hobart, supaya kita bisa bahas bacaan hari Senin sama-sama. Waduh, mau. Soalnya kalo pas hari Senin diskusi di kelas, suka mati angin gitu. Soalnya gini. Setiap kali kita baca bahan mingguan dari reading list, kita berusaha keras memahami si penulisnya dan apa maunya dia. Nah pas di kelas, Mark dengan cemerlangnya selalu nanya "What's your critique on the writing?" Dwoooh. Gw yang dari Sabtu berasa ngerti bacaan Mulvey dan Hall gitu langsung berasa wakwaw, apa ya apa ya apa ya... dudududududu...
Mari juga cerita tentang kebingungan dia setiap kali abis nonton film di kelas Mark Hobart. Karena kita jadi berkecenderungan untuk curiga-an sama film yang kita tonton, berusaha menjadi kritis, tapi giliran diskusi gak boleh terlalu berputar-putar pada film itu aja tapi ditarik ke wilayah yang lebih luas. Wadoh. Satu-satunya yang punya korelasi langsung antara film dengan bacaan cuma pas bacaan Laura Mulvey ("Visual Pleasure and Narrative Cinema") dan film Vertigo-nya Alfred Hitchkock. Selebihnya, well, duh, gimana ya. Tapi mayan lah buat sarana nonton film. Haha. Sejauh ini udah nonton Independence Day, Metropolis, Rashomon, Bridge on River Kwai dan Network. Idih, Rashomon dan Network keren abis bo. Sumpeh.
Haduh susah emang deh media scholars wannabees ini... huekekekek...
Jadilah kita berkumpul di ruang kerja Mark Hobart. Enam orang. Gw, Maria (Italia), Tara (Inggris, lahir di India), Mari (Estonia), Wan-jin dan Selena (Taiwan). Selain ngomongin soal essay, Mark juga pingin dapet feed-back dan menampung keluh kesah kita selama lima minggu terakhir. "Any thoughts, questions, worries?" Kalimat itu juga yang selalu dia ungkapkan di akhir kuliah dia. Hum, tu orang emang baik banget. Sumpah deh.
Kekhawatiran kita semua ternyata sama. Shocked with all those theoretical and philosophical hocus pocus. Seperti Selena bilang, "We know that those are great names that we should have a grip on, but when I went to the library to borrow their books and started reading, I started to feel... I can't understand any of these!" Betuuul betuuuul, tepat sekali. Begitulah hidup yang harus gw lalui di sini. Nah, jelas kan kenapa gw malesss cerita tentang sekolah gw? Kekekekekek...
Setiap minggu kita emang selalu diperkenalkan dengan tulisan orang-orang 'hebat' ini. Paling enggak sampe sekarang kita udah berkenalan dengan Adorno, Horkheimer, Ricoeur, Mulvey, Hall, Baudrillard, Barthes, Laclau. Dan ini betul-betul jadi perkenalan yang teramat singkat. Cuma sempet sekali baca dan minggu depannya udah ganti topik lagi. Sungguh siksaan luar biyasa.
Pas Mark ngajar kuliah tentang Ricoeur, dia bilang "I've been reading Ricouer for about 10 times and everytime I read this, I gain a new knowledge of him." Yeayeayea, dia enak baca sepuluh kali. Lah kita, dua kali aja udah sukur gilaaa...
Di pertemuan tadi, Mark menenangkan kita. Jangan terlalu khawatir sama essay-nya. Tenang aja. "You have the whole holiday to do your essay." (in other words, congratulations, you have no holiday! yuppie!) Lalu dia mulai bercerita tentang struktur essaynya nanti seperti apa dan bagaimana teori-teori itu akan bermunculan di hadapan kita. "Don't put every approaches we studied in your essay, it would be impossible." Ah tentunya dong. Udah gila apa kita masukin semua pendekatan yang ada... Itu namanya mati mampusssss.
Lalu kita mulai berlatih mengelaborasi berbagai ide yang ada. Maria cerita tentang culture shock-nya dia sebagai orang Italia yang berhadapan dengan media di Inggris. Dia menyebut salah satu acara tivi di London yang dalam bahasa dia "A Freak Show". Karena isinya adalah cerita tentang orang yang lahir tanpa kaki atau orang yang berbulu di seluruh wajahnya. Lalu dia cerita juga tentang majalah mingguan yang salah satu rubriknya adalah ajakan bagi para cowok untuk motret his girlfriend's breast, dan dikirim ke majalah untuk kemudian diundi, mana yang paling bagus. Menurut dia itu sinting abis-abisan.
Kemudian Mark mengajak kita mengelaborasi 'problem' itu. Pendekatan mana yang bisa dipakai, teori siapa yang tepat masuk ke situ. Penjelasannya sangat sederhana, terstruktur dan luar biasa menenangkan. Betul, sungguh menenangkan. Kayaknya dosen gw jaman kuliah dulu gak ada yang soothing kayak begini.
Intinya, kata Mark, adalah menemukan problem itu dulu. "I have an itch which I want to scratch." Lantas segera saja ide-ide lama yang selalu ada di kepala gw bermunculan kembali. Soal penulis sinetron Indonesia, soal Joe Millionaire Indonesia, soal 68h saat mau menerima kunjungan FPI, soal pengambilan gambar sinetron Indonesia, ah soal macem-macem dah. Berjejalan lah itu semua di kepala gw. Sepertinya yang lain juga begitu karena muka-muka gembira mulai ada di wajah Maria, Tara, Selena, Mari dan Wan-jin.
Dua jam lah kita ngobrol ngalur ngidul soal essay di ruangannya Mark Hobart. Setelah kelar, dadahan sama Mark, kita masih ngobrol lagi di ground floor. Tadinya pengen makan bareng, tapi Tara ada belly dancing class (yeiha!), Wan-jin mesti ke computer room sementara Selena, Maria dan Mari rumahnya rada jauh. Udah kemaleman, pun dinginnya masya ampun. Jangan lupa, di London sekarang suhunya udah di kisaran 5 derajat Celcius sajah.
Ah bener deh. Ternyata kita berbagi kekhawatiran yang sama persis. "I thought I have to write my essay on 'hegemony' though I don't know what to write. Now I know I can write my essay on everything!" Idih, asik banget deh dengerin Maria ngomong dengan gaya Italia-nya itu. Keyen. Selena trus ngajakin kita untuk ngumpul tiap pekan sebelum kelas Senin siang bersama Mark Hobart, supaya kita bisa bahas bacaan hari Senin sama-sama. Waduh, mau. Soalnya kalo pas hari Senin diskusi di kelas, suka mati angin gitu. Soalnya gini. Setiap kali kita baca bahan mingguan dari reading list, kita berusaha keras memahami si penulisnya dan apa maunya dia. Nah pas di kelas, Mark dengan cemerlangnya selalu nanya "What's your critique on the writing?" Dwoooh. Gw yang dari Sabtu berasa ngerti bacaan Mulvey dan Hall gitu langsung berasa wakwaw, apa ya apa ya apa ya... dudududududu...
Mari juga cerita tentang kebingungan dia setiap kali abis nonton film di kelas Mark Hobart. Karena kita jadi berkecenderungan untuk curiga-an sama film yang kita tonton, berusaha menjadi kritis, tapi giliran diskusi gak boleh terlalu berputar-putar pada film itu aja tapi ditarik ke wilayah yang lebih luas. Wadoh. Satu-satunya yang punya korelasi langsung antara film dengan bacaan cuma pas bacaan Laura Mulvey ("Visual Pleasure and Narrative Cinema") dan film Vertigo-nya Alfred Hitchkock. Selebihnya, well, duh, gimana ya. Tapi mayan lah buat sarana nonton film. Haha. Sejauh ini udah nonton Independence Day, Metropolis, Rashomon, Bridge on River Kwai dan Network. Idih, Rashomon dan Network keren abis bo. Sumpeh.
Haduh susah emang deh media scholars wannabees ini... huekekekek...
1 Comments:
akhirnya--akhirnya--akhirnya...ada cerita tentang pergulatan elo di sekolah...
ga jadi ngiri...mbleneg lah kalo gue. mendingan berantem ama anak=anak ku yang tidak peduli pada dunia tersebut... - tatah
Post a Comment
<< Home